Hal itu bernama "Standar"
Hai, perkenalkan namaku Rara, si kelinci putih kecil. Aku
tidak ada di foto di atas karena saat pemotretan aku tidak datang ke sekolah,
dan foto di atas bukan sekolahku, karena guru kami bukan seorang manusia,
melainkan seekor singa besar nan gagah bernama Pak Leo. Pak Leo ini adalah guru
sekaligus pemilik sekolah rimba ini. Ya, di hutan tempat kami tinggal hanya
memiliki satu sekolah, dan Pak Leo lah penguasanya.
Walaupun Pak Leo adalah sang penguasa, aku tidak suka dengan
caranya mendidik kami. Ya, aku mencoba mengerti bahwa ia punya maksud yang
baik, mencerdaskan kami semua para hewan di hutan ini. Tapi aku merasa cara
yang ia pakai salah, dan banyak teman-temanku (bahkan terkadang aku) yang
dirugikan.
Ia sangat senang atau bahkan tergila-gila dengan standar. Ia
ingin semua muridnya lulus dari standar yang ia berikan. Katanya, supaya kalian
tidak kalah dengan hutan-hutan yang ada di luar sana. Padahal aku merasa hutan
ini tertinggal, bahkan berjalan mundur, tidak seperti yang ia harapkan.
Suatu hari yang cerah, Pak Leo ingin menilai kami, seperti
biasa dengan standar ‘keren’ yang ia tetapkan, dan kali ini, tugas kami semua
adalah berenang di sungai. Fifi, temanku si ikan sepat sangat senang karena, ya
pasti kalian sudah tahu, semua ikan pasti bisa berenang, dan Fifi yakin
nilainya akan sempurna. Lain hal nya dengan Momo, temanku yang lain, si kucing
liar berbulu hitam. Ia terus-terusan menggerutu dan berkata kepadaku: “Aku kan
tidak bisa berenang, dan aku yakin si singa besar itu juga tidak akan bisa!”
Aku menahan tawaku saat mendengar gerutuannya. Lala si ulat daun juga dari tadi
hanya cemberut saja, tanpa mengatakan apa-apa, tapi aku tahu, dia juga kesal
karena tidak bisa berenang. Kalau aku? Aku tidak tahu, tapi apa kalian pernah
mendengar ada kelinci yang bisa berenang? Kalau ada, semoga saja aku termasuk
di dalamnya. Aku memang tidak pernah yakin 100% akan mampu melakukan semua
standar yang Pak Leo tetapkan, tapi apa salahnya mencoba?
Waktu berlalu, akhirnya sekolah kami akan menempuh ujian
akhir. Satu bulan sebelum ujian akhir, Pak Leo mengumumkan, bahwa kami harus
memanjat pohon. Ia tidak mengatakan kami akan memanjat pohon apa, dan hanya
meminta kami berlatih memanjat pohon sebelum ujian. Reaksi teman-temanku
bermacam-macam. Ada yang senang, contohnya Pongo, si kera besar berbulu coklat.
Bagaimana ia tidak senang? Semua penghuni hutan ini juga tahu kalau rumahnya
ada di atas pohon, dan ia memang diciptakan untuk memanjat. Ada yang kesal, si
Fifi contohnya. Coba kalian bayangkan, bagaimana caranya seekor ikan bisa
memanjat pohon? Ada yang takut, yaitu aku. Seperti biasa, aku tidak yakin, tapi
aku akan berusaha, dan aku tidak akan curang. Aku ingin aku bisa dengan usahaku
sendiri.
Beberapa minggu sebelum ujian, aku terus berlatih. Hampir
semua pohon yang tingginya sedang sudah kupanjat, tinggal mempersiapkan diri
untuk berlatih memanjat ke pohon yang lebih tinggi. Sambil berlatih, aku
mendengar banyak isu yang sungguh tak enak didengar. Ulla, si ular phyton
diam-diam bekerja sama dengan Pongo, agar Pongo membantunya memanjat saat ujian
nanti. Dasar keterlaluan! Padahal kalau ia mau latihan, ia bisa saja merayap
dengan perutnya sampai ke atas pohon itu. Ada juga teman-temanku yang lain yang
diam-diam membujuk Bu Mimi, kancil cantik, asisten Pak Leo agar Bu Mimi mau
memberitahu mereka pohon apa yang akan dipanjat saat ujian nanti. Aku juga
mendengar kabar Fifi mati karena ia keluar dari sungai, dan menggelepar di
tanah. Ayah dan ibunya seharian menangis, karena alasan Fifi yang aneh, yaitu
takut menghadapi ujian. Aku mengerti perasaannya, bagaimana bisa seekor ikan
diharuskan untuk memanjat pohon. Aku tahu Fifi punya bakat lain yang
mengagumkan, ia sangat pandai menari, dan banyak teman-temanku yang setiap sore
berkumpul untuk melihat tariannya. Aku sempat bingung memikirkan apa yang harus
kuperbuat, namun akhirnya aku memilih untuk tidak ambil pusing, dan terus
berlatih sebelum menghadapi ujian.
Hari yang ditunggu pun datang. Semua hewan yang akan
mengikuti ujian berkumpul. Kami semua harap-harap cemas, menunggu pengumuman
pohon apa yang akan kami panjat. Aku tahu ada teman-temanku yang lain yang
seperti aku, yang berlatih keras tanpa berbuat curang, dan aku merasakan mereka
juga tegang, dan ada juga temanku yang berpura-pura tegang, agar tidak ketahuan
bahwa mereka curang. Akhirnya Pak Leo datang. Dengan berwibawa ia mengumumkan bahwa
kami harus memanjat Pohon Cemara yang terkenal sangat tinggi di hutan ini.
Setelah mendengar itu, kami ribut. Jelas kami protes karena pohon itu tidak
pernah disebut-sebut oleh selama ini. Kami hanya tahu tentang keberadaan pohon
itu lewat cerita orangtua kami, dan pohon itu sudah sangat tua. Pohon itu juga
hanya ada SATU di hutan ini, dan letaknya cukup jauh dari tempat kami biasa
belajar di sekolah. Tapi mau gimana lagi, mau protes sekeras apapun Pak Leo
tidak akan peduli. Siapa yang tidak suka, silahkan keluar dari hutan ini,
begitu katanya, dan kalau kami keluar dari hutan ini, risiko mati karena diburu
manusia akan semakin besar. Aku melirik teman-temanku yang diam-diam menahan
senyum mereka. Dasar, mereka pasti sudah merencanakan kecurangan. Aku tidak
peduli, yang penting aku sudah berusaha, lihat saja hasilnya nanti.
Aku heran, apa yang ada di pikiran Pak Leo sehingga ia harus
menetapkan standar seperti itu? Tidakkah ia tahu bahwa semua hewan di hutan ini
punya kemampuan istimewa, dan tidak ada kemampuan yang sama. Kalau alasannya
adalah agar hutan ini dipandang oleh hutan lain, aku rasa ia salah. Seperti
yang pernah kukatakan, hutan ini malah nyaris hancur.
Banyak hewan-hewan yang bertengkar. Keluarga Tuti si tupai
menjadi miskin karena Tuti ketahuan mengkorupsi kacang kenari yang selama ini
ditanam dan dikumpulkan oleh ayah dan ibunya. Tuti memang dipercaya untuk
menjaga persediaan kacang kenari, kemudian setelah persediaan itu banyak dan
mencukupi, Tuti harus membawa kacang itu ke rumahnya. Tapi Tuti malah mengambil
sebagian kacang itu dan menjualnya, untuk membeli kebutuhan lain miliknya.
Padahal dulu Tuti terkenal sebagai tupai paling cerdas di sekolah rimba. Tapi,
kecerdasan Tuti tidak menjamin ia akan hidup benar di hutan ini.
Pak Leo lupa untuk mengajarkan kami bagaimana cara melakukan
sesuatu dengan jujur. Aku menceritakan ini bukan untuk menjatuhkan Pak Leo atau
teman-temanku yang lain. Aku hanya ingin kami diajarkan bagaimana cara kami
memperoleh sesuatu dengan cara yang benar, bukan bagaimana hasilnya nanti, tapi
bagaimana prosesnya. Bukan berapa nilaimu, tapi apakah kamu jujur saat
mengerjakannya. Satu hal yang harus Pak Leo sadari adalah, mengapa hutan-hutan
lain bisa lebih maju dan terkenal? Salah satunya mungkin karena mereka tidak
lupa mengajarkan murid-muridnya untuk terus berbuat jujur, dan mereka
menghargai apa yang murid-muridnya lakukan, mereka membuka jalan agar
murid-muridnya mengembangkan bakat yang mereka miliki, tanpa standar kaku yang
harus dipenuhi.
Comments
Post a Comment