Ketika pohon bicara
Sore itu cerah, matahari sebentar
lagi akan terbenam, namun cahayanya masih sedikit bersinar menyinari bumi.
Banyak anak-anak kecil bermain-main di lapangan. Ada juga penjual makanan yang
sibuk menjajakan dagangannya. Tanaman hias di depan rumah-rumah sedang disirami
oleh pemiliknya masing-masing. Setiap sore memang waktu yang pas untuk
menyirami tanaman, selain pagi hari karena di pagi hari sang pemilik sudah
sibuk memulai aktivitas masing-masing. Pagi dan sore hari menjadi waktu yang
pas karena matahari bersinar tidak begitu terik, sedangkan pada siang hari
matahari sangat terik, sehingga tanaman bisa cepat mati bila disiram di siang
hari.
Tanaman lidah mertua, kumis kucing,
lidah buaya, daun pandan, dan bunga kamboja diletakkan bersisian. Lidah mertua
mendominasi jenis tanaman di wilayah perumahan ini. Banyak pemilik rumah yang
menganggap tanaman dengan daun lebar bercorak kuning di tengahnya ini mudah
dirawat, dan cukup indah.
Matahari pun beranjak dari
tempatnya. Para pemilik rumah sudah masuk ke rumahnya masing-masing. Anak-anak
kecil juga sudah banyak yang pulang. Adzan magrib berkumandang, sehingga
wilayah itu jadi sepi.
“Hei, aku lupa dipupuk hari ini.”
Tiba-tiba lidah buaya membuka suaranya. “Katanya besok besok terus, tapi sampai
sekarang aku tidak juga dipupuk.” Keluhnya.
“Aku disiram pake air beras lagi.
Tapi kok kali ini baunya aneh. Lalu aku melihat banyak biji salak berjatuhan ke
potku.” Sambung lidah mertua 1 yang potnya ada di sisi kanan kumis kucing.
“Masih bagus, kamu disiram dengan
biji salak. Dua hari yang lalu biji durian jatuh ke potku.” Sahut lidah mertua
2 yang potnya ada di seberang mereka.
“Berarti kamu dipupuk pake biji
durian itu.” Sahut lidah buaya asal.
Sang pemilik rumah memang sering
menyiram mereka dengan air bekas cucian beras, walau terkadang biji buah-buahan
yang hari itu mereka makan suka ikut bercampur dengan air beras yang dipakai
untuk menyiram mereka.
“Air beras rasanya kaya apa sih?
Setiap hari aku cuma disiram pake air selang aja tuh.” Sela bunga kamboja yang
potnya paling jauh dengan mereka. Lidah mertua 1, kumis kucing dan daun pandan
berada di satu rumah yang sama. Lidah mertua 2 dan lidah buaya ada di rumah
seberang, sedangkan bunga kamboja ada di rumah yang bersebelahan dengan rumah
pemilik lidah mertua 2 dan lidah buaya.
“Ya gitu deh, asem-asem, terus
kadang-kadang aku suka mencium bau tubuhku sendiri di air beras itu.” Jawab
daun pandan.
“Aku lebih suka air biasa daripada
air beras. Air beras bikin daun-daunku jadi berbau aneh.” Sambung kumis kucing.
Saat mereka sedang asyik mengobrol,
tiba-tiba segerombolan anak muda duduk di depan pot lidah mertua 1, kumis
kucing dan daun pandan. Mereka membawa ponsel mereka dan juga beberapa bungkus
makanan kecil. Cukup lama mereka berada disana, sampai akhirnya mereka membuang
bungkusan makanan mereka ke pot kumis kucing, karena pot kumis kucing adalah
pot terbesar di antara mereka bertiga, lalu pergi begitu saja.
“Hei! Kurang ajar! Aku bukan tempat
sampah.” Gerutu kumis kucing kesal, namun tentu saja anak-anak muda itu tidak dapat
mendengarnya.
Lidah mertua 1 dan daun pandan diam
saja. Pemandangan seperti ini memang sudah biasa terjadi.
“Manusia memang kurang ajar! Kemarin
ada sekantung besar sampah yang dibuang ke potku. Kurang ajar!” ujar lidah
buaya berapi-api.
“Rasanya kertas peringatan yang ada
di belakang kalian tidak berguna.” Sambung bunga kamboja, membuat mereka
menoleh ke dinding di belakang mereka. Semua kalimat peringatan yang intinya
jangan membuang sampah disini sudah dipasang oleh pemilik mereka masing-masing.
Tak jarang setiap pagi para pemilik rumah berteriak-teriak kesal karena ada
saja sampah yang ditinggalkan di pot bunga mereka.
“Tapi tidak semua manusia jahat,
buktinya pemilik kita masih peduli dengan kita.” Sambung lidah mertua 2,
berusaha meredam kekesalan mereka.
Mereka semua diam, seolah mengiyakan
pernyataan lidah mertua 2.
“Kalau mereka tidak membuang di pot
kalian, mereka akan membuang sampah di tubuh kami.” Tiba-tiba sebuah suara
muncul mengagetkan mereka. Rupanya itu aliran air di saluran air yang ada di
sekeliling mereka. Aliran airnya sudah tidak begitu jelas terlihat, tertutup
sampah-sampah yang menumpuk disana.
“Setiap hari pasti ada saja yang
membuang sampah disini, sampai kami tidak bisa bergerak lagi. Dan kalau hujan
deras turun, kami tidak bisa bergerak, dan akhirnya kami tumpah ke jalan.”
Sambung para aliran air.
“Dan kalau kalian tumpah ke jalan,
manusia menyebalkan itu akan marah-marah tidak jelas, menyalahkan siapapun,
padahal diri mereka sendiri yang seharusnya disalahkan.” Sahut lidah buaya
marah.
“Dan kami merasa tidak berguna.”
Muncul lagi suara yang membuat mereka menoleh. Ternyata itu suara tempat sampah
yang sengaja diletakkan di perumahan agar warga tidak lagi membuang sampah
sembarangan. Mereka berada agak jauh dari para tanaman hias dan saluran air,
namun para tanaman dapat melihat mereka dengan jelas, karena hanya mereka
satu-satunya tempat sampah terdekat disini.
“Lihat, tubuh kami kosong. Jarang
terisi.” Sambung tempat sampah organik sedih.
“Mereka lebih senang membuang sampah
di tubuh dan pot kalian, karena posisi kami terlalu jauh dengan tempat mereka
biasa duduk.” Lanjut tempat sampah anorganik, tak kalah sedih.
Semua orang di sore hari memang suka
nongkrong di depan rumah besar yang
memiliki tanaman hias, karena di depan rumahnya ada undakan-undakan kecil yang
bisa mereka duduki. Sedangkan posisi tempat sampah cukup jauh dari rumah
penduduk, mengingat apabila tempat sampah diletakkan di dekat rumah, bau tidak
sedapnya akan menyebar. Namun akibatnya, orang-orang malas berjalan menuju
tempat sampah, dan memilih membuang sampah sembarangan.
Semua terdiam, ternyata permasalahan
sampah ini sungguh mengganggu, karena semua berada di tempat yang tak
seharusnya. Tiba-tiba pintu rumah pemilik lidah mertua 2 dan lidah buaya
terbuka. Seorang ibu muda tampak sedang menenteng kantung plastik hitam besar,
dan membuang sampah-sampah yang ada di pot tanamannya. Ia juga membersihkan
sampah yang ada di pot kumis kucing, yang dibuang oleh anak-anak muda tadi.
Saat ia akan mengikatkan kantung plastik
dan bersiap membuangnya, datang lagi gerombolan anak-anak kecil yang duduk di
depan pot lidah mertua 1, daun pandan, dan kumis kucing. Si ibu memperhatikan
gerak-gerik anak-anak ini, apakah mereka akan membuang sampah sembarangan lagi.
Dan benar saja, mereka akan membuang sampah itu ke saluran air di sisi ketiga
tanaman hias itu.
“Heh, tunggu! Jangan buang disana!”
seru ibu itu dengan nada tinggi.
Anak yang akan membuang sampah itu
langsung diam dan asal saja melempar sampah itu ke jalan.
Ibu itu menggelengkan kepalanya, dan
menghampiri anak itu. Anak itu terlihat takut dan hanya menunduk. Kelihatannya
anak-anak ini tidak tinggal di perumahan ini, namun mereka suka sekali nongkrong disini. Tidak tahu diri.
“Disini bukan tempat sampah. Ambil.”
Ibu itu menyuruh si anak untuk memungut sampahnya. Mulanya ia ragu-ragu, namun
kemudian dipungut juga sampah plastik itu.
“Kalau dibuang ke sana....” Sang ibu
menunjuk saluran air, diikuti oleh anak-anak itu yang menoleh ke arah yang
ditunjuk si ibu. “...nanti aliran airnya mampet, banjir. Mau rumahnya
kebanjiran?” lanjutnya. Anak-anak itu menggeleng. “Kalian gak tinggal disini,
jadi gak tau kan rasanya banjir disini kaya gimana? Semua orang susah. Kalau
banjir seenaknya aja menyalahkan pemerintah. Emang enak disalah-salahin?”
sambung si ibu dengan nada bijak.
Anak-anak itu hanya diam saja saat
ditegur, terlihat dari raut wajah mereka, mereka tidak akan nongkrong disini lagi. Teguran si ibu
seperti usiran halus bagi mereka.
“Nah, buang plastiknya disini.” Ibu
itu membuka ikatan plastik yang tadi berisi sampah yang barusan dipungut. Anak
itu membuang sampah plastiknya ke sana. Ibu itu tersenyum. Tanpa berkata
apa-apa ia membuat kantung plastik itu ke tempat sampah anorganik yang
disediakan, kemudian ia masuk lagi ke rumahnya.
Para tanaman hias, saluran air dan
tempat sampah saling berpandangan dengan gembira.
“Ah, andai semua manusia seperti
itu.” Ucap lidah mertua 1 dengan nada penuh khayal.
Comments
Post a Comment