bak·er·y ; bāk(ə)rē

  1. a place where bread and cakes are made or sold.
    "delicious aromas wafting from the bakery"
    • baked goods such as bread and cakes.
      "a table overflowing with homemade bakery and wine"

Pagi ini, seperti biasa, semua orang sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Dan sebuah truk tiba di depan toko kue dan roti yang paling terkenal di kota ini. Supir truk beserta orang yang duduk di sebelahnya turun bersamaan dari truk, dan bersama-sama menurunkan banyak bawaan dari belakang truk. Berkilo-kilo tepung terigu, kotak-kotak telur dan bahan-bahan lain diturunkan dengan cepat dan hati-hati. Dan keluarlah pemuda berseragam dan memakai topi merah, dengan senyum dan tawa renyah menyambut kedatangan sang supir dan rekannya. Mereka saling mengucap 'selamat pagi', kemudian perlahan truk itu meninggalkan toko, dan si pemuda berseragam mendorong troli berisi bahan-bahan pembuat roti dan kue kemudian meletakkan mereka di gudang penyimpanan. Setelah mencatat berapa jumlah barang yang dikirim hari ini, pemuda itu pergi dan melanjutkan aktivitasnya.

"Selamat pagi semuaaa!" tiba-tiba tepung terigu bersuara, setelah pemuda itu pergi. "Gila, makin putih aja aku hari ini. Wuuu, makin cantik deh." lanjutnya narsis.

"Perasaanmu aja kali. Padahal biasa aja." sahut mentega sinis, dari rak paling atas.

"Cih, sirik aja. Ih, lagian siapa juga yang mau berminyak kaya kamu." sambung tepung terigu tak kalah sinis.

"Masih bagus berminyak, daripada kering kaya kamu." jawab mentega lagi.

"Hoaahhhmmmmm.... pagi-pagi udah ribut aja kalian. Ssssstt berisik banget sih. Liat nih, ragi masih tidur. Gara-gara kalian bisa bangun dia." tiba-tiba garam terbangun. Ia melirik ragi yang sedang tidur di rak di sisi kanannya. "Untung dia gak bangun. Kasian dia." sambungnya lega karena ternyata ragi tidak terbangun.

"Biarin aja. Lagian tuh, si mentega mulai duluan. Gak suka banget sih sama aku." gerutu tepung terigu manja.

"Siapa juga yang suka sama kamu? Dasar sombong." sahut mentega lagi.

"Ya iyalah ya. Coba aja kalian pikir, kalo gak ada tepung terigu, mana ada roti sama kue? Kalo gak ada aku, toko ini gak bakal ada tau." lanjut tepung terigu makin menjadi.

"Tapi emang roti sama kue bisa jadi kalo cuma ada kamu aja?" jawab telur yang dari tadi diam.

"Nah, bener tuh. Eh, kalo kamu kecampur sama telur, kamu gak akan putih sama cantik lagi tuh." sahut mentega dengan nada sinis dan penuh kemenangan.

Tiba-tiba pemuda bertopi merah tadi masuk, memutus percakapan mereka. Ia membolak-balik buku catatan kecil di hadapannya. Dengan wajah bingung, ia keluar, namun pintunya tidak ditutup.

"Pak, butuh apa aja tadi?" suaranya terdengar hingga ke dalam gudang.

"Ambil bahan-bahan buat roti, tepung satu karung, telur satu kotak, menteganya satu kardus, gulanya ambil yang setengah kilo aja, oh iya, raginya jangan lupa. Cepet, ada orderan banyak hari ini." sayup-sayup, suara bariton terdengar, menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Apa? Kalian denger gak dia bilang apa?" bisik tepung terigu pada bahan-bahan yang lain.

"Eh, tadi namaku disebut gak?" bukannya menjawab pertanyaan tepung terigu, garam menanyakan hal lain.

Mereka tidak berkata apa-apa lagi, karena si pemuda bertopi kembali masuk ke gudang dengan troli. Ia mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan tanpa bersuara, dan dalam waktu singkat, ia sudah keluar sambil mendorong troli.

"Aduh, kok bergerak. Kita dimana?" ragi baru terbangun dari tidurnya. "Garam mana? Yah, kok garam ditinggal?" lanjutnya panik.

"Hei, ngapain kamu ada di sebelah aku? Sana jauh-jauh." tepung terigu bergerak menjauh dari mentega yang diletakkan di sisi kirinya.

"Siapa juga yang mau deket-deket kamu? Eh gula, sini geser dikit. Tuh, kamu di sebelah si sombong aja." sahut mentega kesal.

Pemuda itu ternyata membawa mereka ke dapur. Suasana dapur tampak sibuk, semua orang bekerja tanpa suara. Ia meninggalkan troli di sudut ruangan, kemudian pergi. Seorang wanita paruh baya menghampiri troli, kemudian mengambil semua bahan-bahan itu. Tanpa basa-basi, ia menuangkan tepung terigu, ragi, dan gula ke dalam mixer besar. Telur dan air juga ikut dituangkan. Mesin pun dinyalakan, dan perlahan-lahan semua bahan tercampur.

"Aduh, ragi kamu bau banget sih. Sana jauh-jauh." keluh tepung terigu jijik.

"Gak bisa. Aku juga gak mau deket-deket kamu. Tapi mesinnya bergerak terus." sambung ragi sebal. "Aduh, garam mana sih? Kok aku dipisah sama dia." lanjut ragi dengan nada sedih.

"Ini airnya dingin banget sih." gula ikutan mengeluh.

"Hai air, udah lama gak ketemu kamu." berbeda dengan teman-temannya, telur malah senang karena ia bertemu kembali dengan air, kawan lamanya.

Tak lama, mesin dimatikan, dan mentega dimasukkan ke dalam adonan.

"Ngapain kamu masuk? Udah bagus tadi gak ada kamu. Liat kan, aku gak cantik lagi gara-gara kamu masuk." tepung terigu menumpahkan amarahnya pada mentega.

Mesin dinyalakan lagi, dan semua bahan-bahan itu mau tidak mau saling bersentuhan.

"Kamu kira aku mau deket-deket kamu?" sambung mentega sinis, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena mesin mixer terus mengaduk mereka dan memaksa mereka untuk terus bersentuhan dan lama kelamaan tercampur.

Akhirnya mesin benar-benar dimatikan dan mereka dikeluarkan dari mixer. Singkat cerita, mereka dibentuk, dipoles, kemudian dibakar, dan menjadi roti-roti enak nan mahal yang dicari-cari oleh penduduk di kota itu.



Kita hidup berdampingan dengan manusia-manusia lain di dunia ini. Mungkin supaya terlihat 'seru', Tuhan menciptakan manusia dengan karakter yang berbeda satu sama lainnya. Kamu bohong, kalo kamu bilang bahwa kamu gak pernah merasa sebel atau kesel atau bahkan gak pernah punya perasaan dendam kesumat dengan orang yang pernah kamu temui. 

Pernah gak sih terlintas di pikiranmu? 'Kok aku harus ketemu orang macam ini?' 'Duh, dia nyebelin banget.' 'Ih, egois banget jadi orang.' 'Mending cakep deh, ini udah jelek, sombong lagi.'

Lalu gimana responnya ketika ketemu orang yang 'gak banget' menurut kita? Umumnya orang-orang akan cari aman. Daripada ribut, konflik, bahkan ekstremnya bisa bunuh-bunuhan, lebih baik menjauh. Gak usah deket-deket. Okay, that's seems good.

Tapi, bukankah kita gak bisa menghindari itu? Bisa aja kita ketemu dengan orang-orang yang karaktenya seperti tepung terigu di cerita di atas? Dan bisa aja posisi kita saat ini adalah si mentega. Nahlo.

Atau bisa aja ketika kita merasa sudah cocok dengan seseorang, tapi keadaan malah memisahkan, seperti ragi dan garam?

Unik ya, seolah sudah direncanakan, ketika kita hidup di dunia ini, dengan siapa saja kita akan bertemu (Baca: Certain Person). Ujung-ujungnya, ketika kita berusaha menghindar dari orang yang tidak kita sukai, akan ada saja yang akan mempertemukan.

Aku mencoba melihat sisi positifnya. Bisa saja rasa ketidaksukaan itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Tepung terigu mungkin tidak sadar, bila ia dicampurkan dengan mentega dan bahan lainnya, ia akan 'naik level' menjadi roti atau kue yang lebih enak, lebih berharga.

Mungkin Tuhan mengizinkan konflik terjadi, rasa ketidaksukaan muncul, bertemu dengan orang lain yang berbeda karakternya, untuk membuat kita 'naik level'? Bisa saja kan? 

Karena Ia mau kita lebih enak dan lebih berharga dari roti-roti yang dijual di toko itu :p

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih untuk Segalanya

Bahasa Indonesia

'Cause We're Only Human